Hangatnya semburat cahaya mentari pagi ini sehangat senyumku yang merekah sedari tadi. Pagi yang indah di hari yang fitri. Aku sedang tersenyum mendekap ponselku sambil menghela nafas lega dan perasaan bahagia. Ku ucap syukur pada Yang Kuasa karena masih melindungi suamiku di rantauan sana. Aku cukup bahagia mendengar suaranya meski hanya sekejap saja. Setidaknya bahagiaku lengkap di hari raya ini saat ku tahu bahwa dia baik-baik saja di sana. Aku tak berharap lebih. Aku tak kan memaksa keadaan menjadi lebih indah dari kenyataan yang ada. Kebersamaan di sini memang tak kan lengkap tanpa kehadirannya, tetapi aku sangat menyadari bahwa kebahagiaan di sini dapat tercipta berkat perjuangannya di lautan sana.
.
Ini adalah lebaran di tahun ke lima pernikahan kami. Memang belum pernah sekalipun kami dapat merayakannya bersama-sama, tetapi aku sangat bahagia saat menyadari bahwa sebenarnya kami kuat sekali hingga sejauh ini. Aku ingat sekali pada suatu waktu beberapa tahun yang lalu. Ketika penantian ini terasa berat dan sangat menyiksa. Ternyata rasa menderita yang selalu ku rasa itu membawaku menjadi lebih dewasa. Dewasa dalam memahami keadaan. Dewasa dalam menyikapi perpisahan, menghadapi segala ujian, mengobati kerinduan dan menghargai pertemuan.
Aku letakkan ponselku di atas meja ketika anak-anak mulai berteriak memanggilku. Mereka menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Ya, tentu saja tentang keberadaan ayah mereka. Aku bersimpuh di depan mereka, ku tatap wajah mereka satu persatu lalu aku tersenyum. Ku belai rambut mereka dan dengan lembut aku berusaha menjelaskannya. Seperti biasa. Ya, keadaan seperti ini adalah biasa. Hampir setiap hari aku menjelaskan kepada mereka tentang keadaan ini. Dan aku tak pernah bosan melakukannya, membuat mereka sedikit paham dengan apa yang aku katakan.
“Ayah kerja sayang… Kapalnya masih di tengah laut. Kasihan ya Ayah nggak ngrasain lontong opornya Bunda, hihihi… Kita doain aja yuk, biar Ayah baik-baik saja dan cepet pulang deh…”, kataku menghibur anak-anakku yang perlahan-lahan mulai tersenyum setelah cemberut seharian. “Iya Bun… Nanti kalau Ayah pulang Bunda masakin Ayah lontong opor lagi ya Bun…” kata Danish dengan logat cadel diikuti tawa renyah Delish, anak perempuanku. Aku hanya tertawa kecil saat mendengarnya. Dalam hatiku aku benar-benar terharu mendapati anak sekecil ini memahami ketiadaan ayahnya. Ku peluk mereka dengan erat sambil berusaha menahan air mata agar tak merusak kehangatan di hari yang suci ini. Lalu ku ajak anak-anakku menuju ruang makan. Menikmati sajian di hari istimewa ini bersama-sama, ya… Meski hanya bertiga saja.
___
Malam ini aku duduk termenung di sudut kamar. Suasana telah begitu sepi karena anak-anak sudah tertidur pulas setelah seharian menikmati riuh rendah suasana lebaran hari ini. Mataku memandang ke luar jendela yang telah basah oleh rintikan air hujan. Dingin, gelap dan sepi. Tanganku meraih sebuah buku yang tergeletak rapi di ujung meja. Ku usap sampulnya yang sedikit berdebu. Ku buka perlahan dan ku baca pelan-pelan sebentuk kalimat di halaman pertama. “Catatan Istri Seorang Pelaut”. Hmm… Aku tersenyum sendiri dan melanjutkannya pada halaman ke dua. Lalu pada halaman ketiga dan seterusnya. Memoriku melayang seketika pada suatu masa. Masa dimana aku masih merasa bahwa hidupku sangat berat. Setiap saat menghadapi segala ujian hidup semenjak bersamanya.
Di halaman-halaman awal buku kecil itu berkali-kali aku menulis bahwa aku ingin menyerah. Betapa aku tak kuasa menghadapi perpisahan, tak sabar dalam penantian, tersiksa dalam kerinduan. Aku tersenyum geli dan menghela nafas panjang. Lalu aku bersyukur telah berhasil melewati masa-masa sulit itu dan bisa bertahan mendampinginya hingga detik ini. Aku bersyukur masih diberi kekuatan di setiap saat menghadapi perpisahan dengan suamiku. Aku bersyukur masih diberi kesabaran dalam menanti kepulangannya. Pun aku sangat bersyukur masih diberi rasa rindu yang menggelora padanya. Rasa rindu yang selalu ku jaga, rasa rindu yang selalu menambah cintaku padanya.
.
Ku seruput secangkir kopi yang menemaniku terjaga malam ini. Kemudian aku berbalik menatap kedua anakku yang telah tertidur pulas di atas ranjang. Ranjang yang dulu selalu terlihat luas ketika ku berbaring sendiri dengan air mata yang berderaian. Aku memandang wajah kedua anakku dengan perasaan haru. Di satu sisi aku bersyukur bahwa penantian ini tak lagi terasa begitu berat semenjak ada mereka. Rindu yang menggebu itu tak begitu menyiksa semenjak ada tawa mereka. Lalu kebersamaan itu menjadi semakin berharga ketika kami dapat berkumpul bersama meski sedemikian singkatnya. Namun di sisi lain ada sebuah kesedihan yang tak dapat kupungkiri ketika mengetahui anak-anakku pun ikut berjuang menahan rindu pada ayahnya di usia yang sekecil ini. Masa yang seharusnya penuh dengan kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Masa yang tak seharusnya ikut merasakan kesedihan saat setiap kali menghadapi perpisahan. Masa dimana mereka seharusnya tak selalu beradaptasi ketika ayahnya pulang. Ya, karena berpisah terlalu lama mereka kadang tak mengenali sosok ayahnya ketika pulang. Ah… Tak terasa air mataku menetes, mengalir deras karena haru akan ketegaran anak-anakku.
.
Ku hapus genangan air mata yang masih tersisa di pelupuk mataku. Dalam hati aku berjanji, agar air mata ini tak terlalu sering mengalir meratapi jalan hidupku yang seperti ini. Aku berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat untuk mereka, anak-anakku. Aku berjanji untuk tetap tegar dan sabar untuk menghadapi ujian bernama perpisahan, kerinduan dan penantian. Karena kekuatanku, ketegaranku dan kesabaranku tak lain dan tak bukan hanyalah untuk mereka, kedua anakku. Aku berjanji sepenuh hati, untuk menjadi seorang ibu yang baik untuk mereka, dan juga menjadi seorang ayah ketika suamiku tak ada di rumah. Akan ku ubah air mata yang dulu menghiasi hari-hariku menjadi sebuah semangat dalam menghadapi pernikahan yang terpisah jarak ini.
.
Ingin sekali malam ini ku katakan pada suamiku. Bahwa jarak itu bukan penghalang, bahwa waktu itu sama sekali tak mengganggu, bahwa berpisah itu bukan berarti tak indah, bahwa penantian itu tak selalu menyakitkan dan kerinduan adalah sebuah kekuatan. Maka kita tak akan pernah jauh karena jarak, tak akan pernah lekang oleh waktu, tak akan pernah menyerah karena berpisah, cinta kita tak akan pernah mati karena menanti dan kita akan selalu merindu setiap waktu. Kita bertahan karena cinta. Dan cinta itulah yang akan membawa kita pada sebuah pertemuan indah di waktu yang Tuhan tentukan untuk kita. Seperti katamu Suamiku, aku akan selalu bersabar, bersabar dan bersabar. Untuk sebuah kata indah bernama “pertemuan”
.
Ku balik halaman terakhir buku ini dan ku ambil pena untuk ku goreskan pada halamannya yang masih kosong. Aku menulis dengan perasaan penuh cinta, denga kekuatan dan ketegaran yang luar biasa untuk suamiku tercinta. Aku menulis sambil sesekali ku pandangi wajahnya yang terbingkai rapi di atas meja.
.
“Suamiku, kekasih hatiku…
Melepasmu itu hal yang biasa. Meski selalu ada air di pelupuk mata.
Aku pun tahu, di hatimu juga tersirat kepiluan setiap kali menghadapi perpisahan.
Apalagi saat kau tatap mata-mata kecil nan sayu itu seolah merengek tak ingin berjauhan denganmu.
Tetapi aku juga tahu, di bahumu terpikul beban yang amat sarat karena sebuah janji bernama kebahagiaan.
Sudah menjadi rumus kehidupan bahwa berpisah itu menyakitkan dan bersama itu menyenangkan.
Tetapi demi masa depan, kebersamaan itu rela kita gadaikan.
Aku selalu berusaha tegar setiap kali melepasmu kembali berjuang di lautan sana. Aku tak sanggup membantu apapun selain hanya doa. Dan kami akan selalu menantimu dengan setia.
.
Berlayarlah…
Tak peduli sejauh mana, tak peduli negara mana kan kau labuhi.
Karena kau kan tetap selalu di hati. Hadir bersama rindu yang setiap saat mengalir dalam pembuluh nadi. Dan pasti kan kembali membawa harapan-harapan kami.
Selamat bekerja Yah…
Sampai nanti…
Sampai bertemu lagi…”
.
Dariku, perempuan yang mengharapmu cepat pulang.