welcome olive ......

jadilah olive yang setia kepada popeye ...

Sabtu, 20 Agustus 2016

Coming soon....!!!

Alhamdulillah...
Akhirnya novel perdana saya sebentar lagi terbit 😆😆😆
.
"Diary Istri Seorang Pelaut"
Sebuah kisah perjalanan rumah tangga yang senantiasa terpisah jarak, terhalang waktu dan teruji rindu...
.
Akankah rindu itu selalu bertemu dg pemiliknya? Mampukah mereka bertahan menahan perasaan ingin terus selalu bersama?
.
Temukan jawabannya dalam novel ini. Novel yang ditulis berdasarkan kisah hidup si Penulis bersama sang suami.
.
Novel "DISP" ini ready tgl 9 September 2016 bagi yang ikut Pre Order (PO).
.
PO dibuka tgl 17 Agustus - 9 September 2016. Bagi yang sudah mendaftar dan melakukan pembayaran tepat waktu, novel akan dikirim selambat-lambatnya tgl 15 September 2016.
.
Dapatkan free GoodyBag dan signature Penulis bagi yang ikut PO novel "DISP".
.
Bagi yg tidak ikut PO, nantikan novel "DISP" di toko-toko buku kesayangan anda 😆😆😆

Sabtu, 09 Juli 2016

Kami Bertahan Untuk Cinta

Hangatnya semburat cahaya mentari pagi ini sehangat senyumku yang merekah sedari tadi. Pagi yang indah di hari yang fitri. Aku sedang tersenyum mendekap ponselku sambil menghela nafas lega dan perasaan bahagia. Ku ucap syukur pada Yang Kuasa karena masih melindungi suamiku di rantauan sana. Aku cukup bahagia mendengar suaranya meski hanya sekejap saja. Setidaknya bahagiaku lengkap di hari raya ini saat ku tahu bahwa dia baik-baik saja di sana. Aku tak berharap lebih. Aku tak kan memaksa keadaan menjadi lebih indah dari kenyataan yang ada. Kebersamaan di sini memang  tak kan lengkap tanpa kehadirannya, tetapi aku sangat menyadari bahwa kebahagiaan di sini dapat tercipta berkat perjuangannya di lautan sana.
.
Ini adalah lebaran di tahun ke lima pernikahan kami. Memang belum pernah sekalipun kami dapat merayakannya bersama-sama, tetapi aku sangat bahagia saat menyadari bahwa sebenarnya kami kuat sekali hingga sejauh ini. Aku ingat sekali pada suatu waktu beberapa tahun yang lalu. Ketika penantian ini terasa berat dan sangat menyiksa. Ternyata rasa menderita yang selalu ku rasa itu membawaku menjadi lebih dewasa. Dewasa dalam memahami keadaan. Dewasa dalam menyikapi perpisahan, menghadapi segala ujian, mengobati kerinduan dan menghargai pertemuan.

Aku letakkan ponselku di atas meja ketika anak-anak mulai berteriak memanggilku. Mereka menghujaniku dengan berbagai pertanyaan. Ya, tentu saja tentang keberadaan ayah mereka. Aku bersimpuh di depan mereka, ku tatap wajah mereka satu persatu lalu aku tersenyum. Ku belai rambut mereka dan dengan lembut aku berusaha menjelaskannya. Seperti biasa. Ya, keadaan seperti ini adalah biasa. Hampir setiap hari aku menjelaskan kepada mereka tentang keadaan ini. Dan aku tak pernah bosan melakukannya, membuat mereka sedikit paham dengan apa yang aku katakan.

“Ayah kerja sayang… Kapalnya masih di tengah laut. Kasihan ya Ayah nggak ngrasain lontong opornya Bunda, hihihi… Kita doain aja yuk, biar Ayah baik-baik saja dan cepet pulang deh…”, kataku menghibur anak-anakku yang perlahan-lahan mulai tersenyum setelah cemberut seharian. “Iya Bun… Nanti kalau Ayah pulang Bunda masakin Ayah lontong opor lagi ya Bun…” kata Danish dengan logat cadel diikuti tawa renyah Delish, anak perempuanku. Aku hanya tertawa kecil saat mendengarnya. Dalam hatiku aku benar-benar terharu mendapati anak sekecil ini memahami ketiadaan ayahnya. Ku peluk mereka dengan erat sambil berusaha menahan air mata agar tak merusak kehangatan di hari yang suci ini. Lalu ku ajak anak-anakku menuju ruang makan. Menikmati sajian di hari istimewa ini bersama-sama, ya… Meski hanya bertiga saja.
___

Malam ini aku duduk termenung di sudut kamar. Suasana telah begitu sepi karena anak-anak sudah tertidur pulas setelah seharian menikmati riuh rendah suasana lebaran hari ini. Mataku memandang ke luar jendela yang telah basah oleh rintikan air hujan. Dingin, gelap dan sepi. Tanganku meraih sebuah buku yang tergeletak rapi di ujung meja. Ku usap sampulnya yang sedikit berdebu. Ku buka perlahan dan ku baca pelan-pelan sebentuk kalimat di halaman pertama. “Catatan Istri Seorang Pelaut”. Hmm… Aku tersenyum sendiri dan melanjutkannya pada halaman ke dua. Lalu pada halaman ketiga dan seterusnya. Memoriku melayang seketika pada suatu masa. Masa dimana aku masih merasa bahwa hidupku sangat berat. Setiap saat menghadapi segala ujian hidup semenjak bersamanya.
Di halaman-halaman awal buku kecil itu berkali-kali aku menulis bahwa aku ingin menyerah. Betapa aku tak kuasa menghadapi perpisahan, tak sabar dalam penantian, tersiksa dalam kerinduan. Aku tersenyum geli dan menghela nafas panjang. Lalu aku bersyukur telah berhasil melewati masa-masa sulit itu dan bisa bertahan mendampinginya hingga detik ini. Aku bersyukur masih diberi kekuatan di setiap saat menghadapi perpisahan dengan suamiku. Aku bersyukur masih diberi kesabaran dalam menanti kepulangannya. Pun aku sangat bersyukur masih diberi rasa rindu yang menggelora padanya. Rasa rindu yang selalu ku jaga, rasa rindu yang selalu menambah cintaku padanya.
.
Ku seruput secangkir kopi yang menemaniku terjaga malam ini. Kemudian aku berbalik menatap kedua anakku yang telah tertidur pulas di atas ranjang. Ranjang yang dulu selalu terlihat luas ketika ku berbaring sendiri dengan air mata yang berderaian. Aku memandang wajah kedua anakku dengan perasaan haru. Di satu sisi aku bersyukur bahwa penantian ini tak lagi terasa begitu berat semenjak ada mereka. Rindu yang menggebu itu tak begitu menyiksa semenjak ada tawa mereka. Lalu kebersamaan itu menjadi semakin berharga ketika kami dapat berkumpul bersama meski sedemikian singkatnya. Namun di sisi lain ada sebuah kesedihan yang tak dapat kupungkiri ketika mengetahui anak-anakku pun ikut berjuang menahan rindu pada ayahnya di usia yang sekecil ini. Masa yang seharusnya penuh dengan kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Masa yang tak seharusnya ikut merasakan kesedihan saat setiap kali menghadapi perpisahan. Masa dimana mereka seharusnya tak selalu beradaptasi ketika ayahnya pulang. Ya, karena berpisah terlalu lama mereka kadang tak mengenali sosok ayahnya ketika pulang. Ah… Tak terasa air mataku menetes, mengalir deras karena haru akan ketegaran anak-anakku.
.
Ku hapus genangan air mata yang masih tersisa di pelupuk mataku. Dalam hati aku berjanji, agar air mata ini tak terlalu sering mengalir meratapi jalan hidupku yang seperti ini. Aku berjanji dalam hati untuk menjadi lebih kuat untuk mereka, anak-anakku. Aku berjanji untuk tetap tegar dan sabar untuk menghadapi ujian bernama perpisahan, kerinduan dan penantian. Karena kekuatanku, ketegaranku dan kesabaranku tak lain dan tak bukan hanyalah untuk mereka, kedua anakku. Aku berjanji sepenuh hati, untuk menjadi seorang ibu yang baik untuk mereka, dan juga menjadi seorang ayah ketika suamiku tak ada di rumah. Akan ku ubah air mata yang dulu menghiasi hari-hariku menjadi sebuah semangat dalam menghadapi pernikahan yang terpisah jarak ini.
.
Ingin sekali malam ini ku katakan pada suamiku. Bahwa jarak itu bukan penghalang, bahwa waktu itu sama sekali tak mengganggu, bahwa berpisah itu bukan berarti tak indah, bahwa penantian itu tak selalu menyakitkan dan kerinduan adalah sebuah kekuatan. Maka kita tak akan pernah jauh karena jarak, tak akan pernah lekang oleh waktu, tak akan pernah menyerah karena berpisah, cinta kita tak akan pernah mati karena menanti dan kita akan selalu merindu setiap waktu. Kita bertahan karena cinta. Dan cinta itulah yang akan membawa kita pada sebuah pertemuan indah di waktu yang Tuhan tentukan untuk kita. Seperti katamu Suamiku, aku akan selalu bersabar, bersabar dan bersabar. Untuk sebuah kata indah bernama “pertemuan” .
Ku balik halaman terakhir buku ini dan ku ambil pena untuk ku goreskan pada halamannya yang masih kosong. Aku menulis dengan perasaan penuh cinta, denga kekuatan dan ketegaran yang luar biasa untuk suamiku tercinta. Aku menulis sambil sesekali ku pandangi wajahnya yang terbingkai rapi di atas meja.
.
“Suamiku, kekasih hatiku…
Melepasmu itu hal yang biasa. Meski selalu ada air di pelupuk mata.
Aku pun tahu, di hatimu juga tersirat kepiluan setiap kali menghadapi perpisahan.
Apalagi saat kau tatap mata-mata kecil nan sayu itu seolah merengek tak ingin berjauhan denganmu.
Tetapi aku juga tahu, di bahumu terpikul beban yang amat sarat karena sebuah janji bernama kebahagiaan.
Sudah menjadi rumus kehidupan bahwa berpisah itu menyakitkan dan bersama itu menyenangkan.
Tetapi demi masa depan, kebersamaan itu rela kita gadaikan.
Aku selalu berusaha tegar setiap kali melepasmu kembali berjuang di lautan sana. Aku tak sanggup membantu apapun selain hanya doa. Dan kami akan selalu menantimu dengan setia.
.
Berlayarlah…
Tak peduli sejauh mana, tak peduli negara mana kan kau labuhi.
Karena kau kan tetap selalu di hati. Hadir bersama rindu yang setiap saat mengalir dalam pembuluh nadi. Dan pasti kan kembali membawa harapan-harapan kami.
Selamat bekerja Yah…
Sampai nanti…
Sampai bertemu lagi…”
.
Dariku, perempuan yang mengharapmu cepat pulang.

Kamis, 07 Januari 2016

Perjuanganku Tanpamu...

"Pasien nomer 2 sudah hampir lengkap ya Mbak, selalu pantau”, teriak dokter obsgin setelah selesai memeriksaku. Aku tak berhenti merintih bahkan berteriak merasakan luar biasanya sakit di seluruh perutku. Airmata dan keringat bercampur menjadi satu. Entah seperti apa tangan Ibu yang sedari tadi ku genggam dan ku cubit sebagai pelampiasanku menahan sakitnya menghadapi persalinan. Berkali-kali aku memanggil perawat dan dokter meminta mereka mengakhiri penderitaanku. Tetapi mereka tetap saja memintaku untuk tenang. “Ini baru pembukaan 7 Bu, yang sabar ya… Atau barangkali pengen telpon suaminya, kali aja habis ditelpon langsung lahir ini anaknya”, kata perawat mencoba mengajakku bercanda. Tetapi yang ada malah aku yang semakin sakit mendengar candaanya. Mana mungkin aku bisa menghubunginya, dia kan sedang di tengah laut, kalau saja dia bisa dihubungi pasti sudah dari tadi aku menelponnya, kataku dalam hati. Air mata ini semakin mengalir dengan derasnya. Merasakan sakitnya jiwa dan raga. Sungguh, belum pernah aku merasa sebegitu tersiksanya seperti saat ini.

“Nduk, ada benernya kata perawat tadi, Ibu coba telpon suamimu ya?”, kata Ibu di tengah-tengah kesakitanku. “Nggak mungkin bisa Bu, dia lagi di tengah”, ucapku sambil terisak. “Nggak ada yang nggak mungkin”, sahut Ibu sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ku pandangi wajah Ibu yang sedang mencoba menghubungi suamiku. Berkali-kali dia mencoba dan mencoba. Tetapi hanya desahan nafas panjang Ibu saja yang menjadi jawaban. “Sudahlah Bu, Mas memang nggak bisa dihubungi”, lirihku. Lalu dengan wajah kecewa Ibu menutup ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam tas.

Sudah hampir satu jam berlalu setelah dokter memeriksaku. Sekarang rasanya sudah bertambah luar biasa. Aku berteriak sejadi-jadinya karena rasanya aku sudah tak kuat lagi. Semua perawat dan seorang dokter obsgin sedang sibuk menyiapkan peralatan di samping tempat tidurku. Aku rasa inilah waktunya. Rintihanku semakin keras. Begitu pula dengan kontraksi ini, semakin kuat dan sakit sekali rasanya. Kata dokter, tinggal satu lagi pembukaanku sudah lengkap. Diajarinya aku mempersiapkan fisik dan mental menghadapi persalinan yang sudah ada di depan mata. Aku hanya mengangguk-angguk saja.
Semua yang ada di ruangan ini sungguh sangat panik ku lihat. Mereka sepertinya sudah tak sabar menunggu saat. Apalagi aku, semua perasaan dalam dada bercampur menjadi satu, keluar bersama rintihan dan tangisan yang tiada henti. Di saat aku berada dalam kesakitan yang tiada tara itu, suara dering telepon Ibu berbunyi. Samar ku dengar Ibu menjawabnya dengan suara terbata-bata. “Istrimu mau melahirkan Nak, ini sudah mau pembukaan lengkap, doanya ya Nak… Iya… Iya… Mau ngomong dulu sama istrimu Nak?”, begitu percakapan Ibu ku dengar. “Suamimu Nduk…”, kata Ibu sambil berlinangan air mata menyerahkan ponselnya kepadaku. Aku segera menyambutnya, tak ku pedulikan lagi kontraksi yang menyerang semakin bertubi.

“Halo Mas…”, kataku di sela-sela isakan.
Sayang, yang kuat ya, aku bantu doa disini, udah jangan mikirin apa-apa, yang penting kumpulkan semua kekuatanmu untuk melahirkan anak kita. Kamu pasti kuat, kita hadapi ini sama-sama ya”, begitu kata suamiku, persis seperti dalam bayanganku tadi.
“Iya Mas…”, ucapku lirih.
“Yasudah, sekarang fokus ya Sayang, nanti kalo….”, brakkkk. Tuut—tut—tuut. Telepon terputus. Aku menghela nafas panjang sambil menahan segala kesakitan. Mungkin sudah tidak ada signal lagi di sana, begitu pikirku. Tetapi ada sebuah kekuatan yang menyertaiku saat ini. Tak ku rasakan lagi sakitnya kontraksi yang datang bertubi-tubi. Kata-kata suamiku baru saja terus terngiang-ngiang seakan membakar semangatku untuk bisa kuat dalam menghadapi ini  semua.

Sampai pada akhirnya, tepat tengah malam saat hari berganti, terdengar suara tangisan kecil nan nyaring dari seorang bayi mungil memecah ketegangan di ruangan ini. Aku telah berhasil melahirkannya di dunia ini. Ragaku rasanya sudah tak ada daya, mataku masih terbelalak dan mulutku masih menganga. Lalu aku tersadar setelah mendengar suara “Selamat ya Bu, anak Ibu telah lahir dengan selamat dan sehat. Laki-laki Bu…”, kata perawat sambil menyerahkan manusia kecil nan merah itu untukku. Aku tak bisa berkata-kata. Lidahku kelu, meski dalam hati ucapan syukur itu seolah tak mau berhenti. Airmata ku tak terbendung lagi. Segala rasa sakit luar biasa yang hampir dua hari ini menyiksaku, terhapus sudah kala ku tatap matanya yang sayu. Ku peluk dan ku dekap erat dia di atas dadaku, ku ciumi dia berkali-kali dengan bibirku. Ku sentuh jemari mungilnya dan rasanya sungguh sangat luar biasa bahagianya. Sungguh aku tak sabar memberi kabar untuk Ayahnya di sana. Bahwa buah cinta kami berdua sudah ada dalam pelukan Ibunya.

(Ku dedikasikan untuk semua saudariku yg sedang hamil dan menanti kelahiran buah hati sendiri, tanpa suami di sisi. Tetap semangat ya Bunda.... Kau tidak sendiri. Semoga lancar, selamat sehat semuanya, aamiin...)