welcome olive ......

jadilah olive yang setia kepada popeye ...

Kamis, 28 Agustus 2014

Untukmu Olive Muda (Part 3)

"Wah... Pelaut... Uangnya pasti banyak.nih..." Sering kali aku mendengar komentar2 itu tiap kali mereka tau profesi suamiku. Aku hanya tersenyum dan meng-aamiin-i kata2 mereka. Banyak dan berkah. Aamiin... Olive2 junior... Sedikit gambaran tentang profesi calon pendampingmu ini... Bagi olive senior, aku yakin, kalian pasti lebih tau tentang ini... Sering suamiku berkata, "mencari yang berkah untuk pelaut itu susah." Semula aku tak tau maksudnya sebelum aku tau sistem kerja dikapal itu seperti apa... Ada salah 1 saudara dari mertua yang berprofesi sbg pelaut. Pelaut yang sukses begitu mertuaku menyebutnya. Sering kali suamiku disuruh untuk "berguru" padanya, mencontoh kiat2 suksesnya... Tapi suamiku selalu menolaknya. Aku tau, harapan orangtua suamiku pasti tak lain agar anaknya bisa lebih baik kehidupannya. Tak ada yang salah memang. Tapi menurut kami, prosesnya lah yang salah.. Keliru, dan sangat bertentangan dengan hati nurani kami... Untuk ukuran pelaut ber-ijazah 2 dengan kehidupan dunia yang sederhana seperti kami, sering sekali menuai tawa dan cerca bagi teman2 seprofesi suamiku... Tak masalah, kami sering menghadapinya dengan senyum... Kami cukup dengan semua ini asal itu berkah buat kami dan anak2 kami. Jadi, engkau para olive muda... Jika kau berkenan mendampingi seorang pelaut dan siap setia padanya, jadilah pendamping yang selalu rajin mengingatkan keberkahan rejeki yang dihasilkannya. Buang jauh2 mimpi bergelimang harta karna profesinya, jika kau tak tau bagaimana cara dia mendapatkannya. Banyak tawaran menggiurkan baginya untuk mendapatkan hasil lebih dari seharusnya, tapi ingat, itu hanya godaan duniawi saja. Aku yakin rejeki yang Tuhan berikan untuknya adalah yang seharusnya, jadi tak perlu lah mengambil yang bukan hak kita. Katakan itu berkali2 jika kelak suami kita tergoda untuk mencari hasil tambahan yang bukan seharusnya. Tak ada tujuan apa2 wahai olive muda, semua itu demi keberkahan keluarga kita nantinya. Hina dan cerca sering kali datang pada kami yang menganut prinsip ini. Katanya kami sok alim, sok suci... Tapi kami hanya tersenyum. Kami bukannya sok alim dan sok suci. Tapi setidaknya kami ingin sekali menjadi alim dan mendekati suci. Dan kami ingin berbagi dan mengingatkan ini.pada kalian... Tidak ada salahnya kan? Godaan pelaut itu tidak selalu pada kesetiaannya terhadap pasangan, tidak melulu pada wanita2 penggoda seperti orang2 bilang, tapi bahkan harta dan kedudukan lah penggoda utama. Bagi mereka yang tak tau apapun tentang pelaut, sering kali berasumsi bahwa bagi pelaut jalan menjadi kaya sangat mudah, bagi istri pelaut bermanjaan dengan fasilitas mewah sangat mudah. Hmmm... Aku cukup tersenyum saja. Bagiku menjadi seperti itu hanyalah bonus semata, yang paling utama... Berkah bagi keluarga. Olive muda... Mari belajar saling mengingatkan. Agar kita menjadi pendamping yang baik untuk popeye kita. Salah 1 nya dengan terus mengingatkannya agar ia jauh dari godaan harta yang bukan seharusnya. Aku yakin kalian pasti penasaran dengan sebutan "harta yg bukan seharusnya". Cobalah sedikit2 bertanya tentang itu pada popeyemu. Tentang kehidupan kapal yang sebenarnya. Tanyalah apa itu "kecing-an". Tanyalah apa ia sanggup menjauhi hal2 seperti itu. Tanyalah apa ia sanggup menghidupi keluargamu hanya dengan "harta yang seharusnya". Aku pun sama. Sedang selalu bertanya seperti itu pada popeyeku. Dan jika popeye kita sanggup. Aku yakin, berkah tak kan jauh2 dari kehidupan kita. Bahagia akan selalu mendekati kita. Meski banyak cerca dan hina. Meski banyak kesulitan menghadang kita. Tapi setidaknya kita menjauhi larangan-Nya. Yang akan meringankan perjalanan kita saat di akhirat kelak. Wallahu a'lam bisshawab. Semoga keluarga kita tidak termasuk keluarga yang merugi karna kelalaian kita untuk mengingatkan suami kita dalam mencari rizki barokah untuk keluarga. Aamiin... Orang bilang jadi pelaut gampang kaya. Orang bilang jadi istri pelaut bergelimang harta. Orang bilang bla... bla... bla... Semua itu memang impian manusiawi kita. Tapi yang utama... Keberkahan hidup berumah tangga bersama seorang pelaut lah yang menjadi cita-cita kita. Be smart Olivers... Be smart wife for your beloved husband... Kita pasti bisa...!!! Keep faith n be strong :*

Senin, 28 April 2014

Sedikit Cerita Dari Pelautku

Sebelumnya, saya pribadi mengucapkan prihatin dan duka yang sangat mendalam atas meninggalnya salah satu calon perwira pelayaran dari STIP, alm. Dimas Dickita Handoko, yang wafat terbunuh oleh senior2nya sendiri. Semoga beliau ditempatkan disisi-Nya, dan diberikan ketabahan bagi mereka yang ditinggalkan. Astaghfirullahaladziim... Sungguh miris sekali mendengar kabar itu. Berangkat untuk meraih cita-cita, tapi pulang hanya tinggal nama. Berharap lulus menjadi perwira laut sejati, tapi pulang dengan peti mati. Sungguh biadabkah pendidikan para calon pelaut ini? Betapa malu, miris, iba, tidak terima dan lain sebagainya... Yang aku rasakan ketika banyak orang memandang sekolah2 seperti ini tidak bermoral. Sekolah yang didalamnya hanya terdapat siswa yang gila hormat, gila pangkat, atau apapun mereka menyebutnya. Sebenarnya, semua siswa? Atau sebagiannya? Itu yang harus mereka tau sebelumnya.. Sekolah pelayaran. Sekolah berbasis semi militer. Aku pun kurang begitu tau persis bagaimana sistem didalamnya. Tapi aku yakin, setiap institusi pendidikan pasti tidak ada niat untuk mencelakakan anak didiknya. Tujuan diterapkannya "semi militer" itu pun, pasti ada tujuannya. Mengingat profesi yang harus diemban mereka para alumni, atau para perwira yang begitu membutuhkan nyali besar setelahnya. Hanya saja, mungkin sebagian siswa yang mengartikannya berbeda. Menjadikan basis pendidikan itu sebagai alasan bagi mereka untuk "menyiksa" junior2nya. Ahh sayang sekali... Melihat peristiwa2 seperti itu, aku jadi ingat cerita suamiku. Cerita yang cukup membuatku mengerti bahwa tidak mudah baginya menjadi seperti sekarang ini. Menjadi seorang pelaut yang kadang banyak asumsi "negatif" dari orang-orang itu. Hanya ingin berbagi. Terutama bagi kalian yang masih mempunyai "asumsi2" itu... Bersekolah di pelayaran sebenarnya tidak jauh beda suka dukanya dengan bersekolah di institusi2 lain. Harus rajin, harus disiplin, harus mampu bersaing dengan kawan lawannya. Jarang ada libur, tugas menumpuk, ditambah pula suasana jenuh diasrama. Sedikit bedanya mungkin basis ke-semi-militeran-nya itu. Menjadikan rasa takut dan was-was ketika bertatapan dengan senior, dan bahkan di luar area kampus. Kata suamiku, dulu setiap dia mau pulang kampung, harus "mampir" dulu ke kos seniornya untuk menikmati "hidangan" spesial. Entah itu tonjokan, tamparan, atau hidangan yang lainnya. Katanya itu tradisi. Siapa bilang? Tradisi yang hanya mereka yang menjalankannya. Ya, alhamdulillah... Suamiku masih diberikan perlindungan untuk lolos dari bermacam hidangan itu, dan diberi keimanan yang kuat untuk tidak menjalankan tradisi itu ketika ia menjadi senior. Aku tau dan sangat yakin itu. Dan membuatku sangat yakin bahwa hanya mereka yang tidak bermoral-lah yang menjalankan tradisi itu. Aku sangat yakin, bukan seperti itu pendidikan militer yang guru ajarkan di institusi tsb. Perjuangan2 telah ia lalui demi sebuah cita2. Aku tidak bisa membayangkan apalagi merasakan saat pertama ia melawan ombak. Berlayar pertama kali saat ia mengerjakan proyek laut (prola) dengan berbagai laporan "tulis tangan" yang tebalnya melebihi naskah ASKEB ku. Dulu aku mengerjakannya di meja atau ruangan yang enak. Tapi ia mengerjakannya di tengah2 gelombang di atas lautan yang seakan tak bertepi. Tapi alhamdulillah... Dia bersyukur bisa melaluinya. Masih adakah yang ingin berpendapat sekolah.pelayaran adalah sekolahnya para penggila pangkat? Semua tau. Bahwa setiap kesuksesan itu tak kan luput dari perjuangan. Aku bisa melihat hasil perjuangan itu dengan.memandang foto suamiku berseragam wisuda didampingi orang tuanya, 13 tahun silam. Walaupun aku belum ada disisinya, tapi aku bisa merasakan degup kegembiraan itu sekarang. Akhirnya sampailah ia pada cita2 menjadi seorang pelaut. Waktu berlalu sampai ia melangkah ke "dunia" berikutnya. Menyandang gelar perwira, ia tekadkan niat untuk mulai bekerja. Mencari nafkah untuk orang tua yang telah menggadaikan kebahagiaan demi cita2 anaknya. Ia sangat ingin mengembalikan "kebahagiaan2" yang tertunda gara2nya, meskipun tak seberapa. Niat yang begitu mulia. Dan niat mulia itu pun kembali harus di uji oleh-Nya... Sekitar tahun 2000-an. Pelayaran pertama suamiku. Line Surabaya-Belawan (Medan). Harus dilalui dengan pengalaman yang tak kan terlupakan. Kapalnya dibajak oleh sekelompok anggota GAM. Terjadi penyanderaan dan berujung tindak kekerasan. Pasukan bersenjata GAM itu merampas habis "harta" kapal dan menyandera sang kapten. Beruntung penyelamatan datang meski tak ada barang berharga yang tersisa sekalipun itu surat2 dan ijazah. Tak berarti apa. Yang paling berharga saat itu adalah nyawa. Syukur alhamdulillaaaah. Allah pun masih melindungi suamiku dan rekan2nya, meski menyisakan besarnya trauma. Suamiku pulang tanpa barang apapun yang dibawanya kecuali pakaian yang saat itu dikenakannya. Ia di "kembalikan" kepadakeluarganya oleh dinas perhubungan setempat. Syukur tiada tara ia ucapkan saat ia kembali bertemu keluarga dlm keadaan selamat. Pelayaran pertama yang menyisakan trauma... Tapi ia tak kan larut dalam trauma itu. Ia berfikir, semua itu adalah ujian. Kalau ia berhenti, maka sia2lah perjuangannya selama ini. Dan seiring berjalannya waktu, trauma itu berhasil ia taklukkan dg tekad yang bulat untuk meraih sukses dari perjuangan yang telah ia lalui. Sesekali trauma itu datang menggoda, ia tepis dengan membayangkan cita2nya. Aku tau, cita2nya hanya ingin menjadi imam yang bertanggung jawab bagi keluarganya. Bagi kami. Ia ingin menjadi pelaut yang hebat di mata anak istrinya. Di mata kami. Aku tau itu. Dia sudah menjadi imam yang hebat di mataku. Perjuangannya menjadi tulang punggung kami, lebih besar daripada perjuangannya menikmati "hidangan" senior2nya dulu pasti. Aku tau. Meskipun dia dididik sekeras besi, tapi ia kan selalu mengajar dengan hati pada anak2 kami. Biarlah jika hanya aku yang tau perjuanganmu ini, jangan berkecil hati menjalani profesimu ini. Doa dan smangat takkan berhenti untukmu, pelautku. Kesabaranku menunggu kepulanganmu adalah bukti kesetiaanku padamu. Dan perjuanganku menggapai surga-Nya. Aamiin. Dan masihkah ada yang ingin berpendapat pelaut itu profesi yang gila pangkat? Aku hanya akan tersenyum dan mendoakan yang telah berpendapat. (^v^)

Minggu, 13 April 2014

Rindu Seorang Pelaut

Setelah menempuh perjalanan berkilo-kilo meter yang memakan waktu setengah hari... Menembus hutan dengan menumpang truk angkutan kayu, sampailah pada sebuah perkampungan... Dan akhirnya suamiku DAPAT SIGNAAALLLL...!!! Alhamdulillaahirrobbil 'alamiin.... Kau kabulkan doaku Ya Rabb... Doa kami semua. Suamiku msh diberi selamat, sehat meski dlm keadaan yg begitu sulit. Kapal "Sombar" nya sedang berada di laut tengah hutan dibalik bukit yang amat tinggi. Kapalnya tidak bisa berlabuh jangkar karena kedalaman laut yang tinggi, dan tidak adanya tenaga darat untuk membantunya. Padahal kayu yang akan dimuat adalah jenis kayu tenggelam yang jumlahnya ±400 batang. Muat pun hanya mengandalkan cuaca. Kapal yang tak bisa sandar itu semoga saja bisa diam dalam hantaman gelombang. Berharap angin besar tak kan menghampirinya. Saat ini baru 200 an kayu yang berhasil di muat di kapalnya. Itupun per-kayu harus dipakaikan pelampung. Setiap harinya hanya 10 kayu yang berhasil di muat. Jadi harus berapa banyak hari lagi yang dihabiskan kru "Sombar" di pedalaman Halmahera itu? Kata suamiku, ia terpaksa "mencari" signal untuk melapor ke perusahaan bahwa bahan bakar tinggal seminggu lagi. Mustahil jika harus menunggu selesainya muat kayu tsb. Ohhhh.... Betapa susahnya pekerjaanmu Yah... Belum lagi, persediaan logistik yang semakin menipis. Dan harus menempuh perjalanan 1 hari jika ingin bertemu pasar. Karena suamiku tidak berani memancing (mitos kalau istri lg hamil tdk boleh mancing), dan jika ia sungkan ikut memakan hasil pancingan anak2 buahnya, ia setiap hari hanya makan nasi putih dan telur rebus. Katanya piringnya tak ada warna lain selain putih.... Geli, tapi miris juga mendengarnya... Pun dia katanya ingin sekali mendengar suara anaknya... Ingin bertanya padaku ttg perkembangan si kecil didalam perut... Ia rela menempuh perjalanan jauh itu demi mendapatkan sinyal. Sedang asyiknya kami bertukar cerita, melepas rindu, truk kayu pun membunyikan klakson memberikan tanda bahwa akan berangkat ke dermaga tengah hutan itu (lagi). Huh... Kata siapa jadi pelaut itu enak hanya karna memandang gajinya? Jangan jadikan semua itu menjadi kesombongan semata. Semua profesi pasti ada resikonya. Janganlah berbangga hati menjadi istri pelaut tanpa mengerti segala perjuangan suami di tengah laut sana. Berat sekali rasanya menutup telepon. Tapi segera ku tepis dengan menyemengatinya meski hanya dg kata2. Tak lupa ia minta doa, agar segera bisa menyelesaikan misi ini dan pulang tepat pada waktunya. Itu pasti sayang. Doa itu tak kan pernah lalai aku panjatkan disetiap sujudku. Selamat berjuang lagi sayang. Semoga Allah selalu menyertaimu, sampai tali jangkarmu terikat kuat di pintu dermaga. Sampai kau berdiri dg senyuman di ujung pintu rumah kita. Aamiin...

Sabtu, 01 Februari 2014

Ketika Rindu Kita Tak Lebih Penting

Hmm... Suami berangkat layar lagi. Nunggu lagi. Galau lagi. Sepi lagi. Daaan.... rindu lagi. Begitulah, yang selalu aku rasakan setiap kali suami berangkat layar. Membesarkan hati untuk menjalani kehidupan sendiri. Tapi ternyata, mulai tahun ini, aku tidak begitu mempersoalkan rindu itu. Dan baru kali ini, rinduku pun menjadi nomor dua, tiga, empat, lima..... Atau pun nomor yang kesekian. Ternyata sekarang, ada yang lebih merindukannya. Ada yang lebih peka terhadap ketidakhadirannya. Semua itu terjadi karena adanya dia.. Buah cinta kami berdua. Dia yang masih kecil itu, ternyata hatinya lebih peka terhadap ayahnya. Dia yang baru saja akrab dengan wangi tubuh ayahnya, ternyata menyimpan sebuah pertanyaan besar dalam pikirannya... Dimana ayah? Kemana ayah? Aku mau didekat ayah... Memang semua itu tak terucap. Tapi aku dapat merasakannya.. Danish kecilku. Bertemu ayahnya saat usia 5 bulan, dan kembali ditinggal saat usia 1 tahun. Saat dia mulai terbiasa dg peluk cium ayahnya. Sekarang harus terbiasa dg ke"tiadaan" itu untuk sementara waktu. Rinduku sekarang jadi nomor kesekian.. Rindu yang semula menyiksa batin dan raga itu, serasa lebih ringan kurasa ketika melihat si kecil juga ikut merasakannya. Rasa ingin bertemu yang menggebu-gebu itu sekarang berubah menjadi ingin segera mempertemukannya dengan anak kami. Segala angan-angan untuk ini itu setelah dia kembali nanti, seakan tak penting asal peluk ciumnya sudah kembali lagi untuk si kecil buah hati kami. Kebiasaan menangis tiap malam ketika merindukannya, memang amatlah menyakitkan... Tapi ternyata lebih menyakitkan melihat si kecil memeluk dan menciumi foto ayahnya tiap kali melihat figura yang terpajang rapi di meja. Sedih memang saat berhari-hari tak bisa menghubunginya karna sinyal yang tak bersahabat. Tapi ternyata lebih sedih ketika dia memanggil "ayah" setiap tangis dan ratapnya yang menyayat. Dan memang senang bukan kepalang ketika ada pesan masuk bertuliskan "I miss u honey". Tapi sekarang lebih senang lagi jika ada pesan masuk berisikan, "baik2 disana bersama anak kita". Tak jarang, rasa rindu itu dulu menjadikan egoisku untuk mamaksamu tetap menghubungiku. Sering sekali, rasa rindu itu menjadikan egoisku untuk memaksamu cepat pulang memelukku. Menjadi kewajiban, rasa rindu itu dulu menjadikan egoisku untuk marah-marah padamu saat berkali-kali mengundur kepulanganmu. Aku baru mengerti sekarang. Kau mengajariku bersikap dewasa dimasa yang nanti akan lebih sulit dari masa itu. Sekarang aku baru paham, rindu2 yg membuat egoisku itu, benar-benar tak lebih penting dari menjaga fikiran dan perasaan si kecil yang belum tau apa-apa itu. Sekarang dan masa-masa yang akan datang, aku ingin lebih berusaha, menjadikan rinduku adalah sebuah kesabaran dalam memahami rindu anak-anakku dg ayahnya. Aku ingin lebih berusaha, menjadikan rinduku adalah sebuah ketegaran dihadapan anak-anakku yang juga dilanda rindu dengan ayahnya. Dan penantian ini tak kan berarti tanpa akhirnya aku melihat mereka berpelukan di ujung pintu ini. Menjawabkan pertanyaan si kecil, "kemana sosok yang selalu memanjakanku, kenapa tiba-tiba tak ada dirumahku, kenapa tak menyahut ketika ku memanggilnya.... Jawaban itu kan ia temukan saat kembali memeluk ayahnya tercinta.. Suatu hari nanti. Itu pasti. Sabar ya anakku sayang. Kita tunggu ayah disini dengan banyak mendoakannya malam ataupun siang. Ayah pasti pulang.. Ayah pasti pulang..! Ayah pasti pulang..!!! Memeluk kita lagi dengan penuh kasih sayang. (◦ˆ⌣ˆ◦)•.♥.•