welcome olive ......

jadilah olive yang setia kepada popeye ...

Senin, 28 April 2014

Sedikit Cerita Dari Pelautku

Sebelumnya, saya pribadi mengucapkan prihatin dan duka yang sangat mendalam atas meninggalnya salah satu calon perwira pelayaran dari STIP, alm. Dimas Dickita Handoko, yang wafat terbunuh oleh senior2nya sendiri. Semoga beliau ditempatkan disisi-Nya, dan diberikan ketabahan bagi mereka yang ditinggalkan. Astaghfirullahaladziim... Sungguh miris sekali mendengar kabar itu. Berangkat untuk meraih cita-cita, tapi pulang hanya tinggal nama. Berharap lulus menjadi perwira laut sejati, tapi pulang dengan peti mati. Sungguh biadabkah pendidikan para calon pelaut ini? Betapa malu, miris, iba, tidak terima dan lain sebagainya... Yang aku rasakan ketika banyak orang memandang sekolah2 seperti ini tidak bermoral. Sekolah yang didalamnya hanya terdapat siswa yang gila hormat, gila pangkat, atau apapun mereka menyebutnya. Sebenarnya, semua siswa? Atau sebagiannya? Itu yang harus mereka tau sebelumnya.. Sekolah pelayaran. Sekolah berbasis semi militer. Aku pun kurang begitu tau persis bagaimana sistem didalamnya. Tapi aku yakin, setiap institusi pendidikan pasti tidak ada niat untuk mencelakakan anak didiknya. Tujuan diterapkannya "semi militer" itu pun, pasti ada tujuannya. Mengingat profesi yang harus diemban mereka para alumni, atau para perwira yang begitu membutuhkan nyali besar setelahnya. Hanya saja, mungkin sebagian siswa yang mengartikannya berbeda. Menjadikan basis pendidikan itu sebagai alasan bagi mereka untuk "menyiksa" junior2nya. Ahh sayang sekali... Melihat peristiwa2 seperti itu, aku jadi ingat cerita suamiku. Cerita yang cukup membuatku mengerti bahwa tidak mudah baginya menjadi seperti sekarang ini. Menjadi seorang pelaut yang kadang banyak asumsi "negatif" dari orang-orang itu. Hanya ingin berbagi. Terutama bagi kalian yang masih mempunyai "asumsi2" itu... Bersekolah di pelayaran sebenarnya tidak jauh beda suka dukanya dengan bersekolah di institusi2 lain. Harus rajin, harus disiplin, harus mampu bersaing dengan kawan lawannya. Jarang ada libur, tugas menumpuk, ditambah pula suasana jenuh diasrama. Sedikit bedanya mungkin basis ke-semi-militeran-nya itu. Menjadikan rasa takut dan was-was ketika bertatapan dengan senior, dan bahkan di luar area kampus. Kata suamiku, dulu setiap dia mau pulang kampung, harus "mampir" dulu ke kos seniornya untuk menikmati "hidangan" spesial. Entah itu tonjokan, tamparan, atau hidangan yang lainnya. Katanya itu tradisi. Siapa bilang? Tradisi yang hanya mereka yang menjalankannya. Ya, alhamdulillah... Suamiku masih diberikan perlindungan untuk lolos dari bermacam hidangan itu, dan diberi keimanan yang kuat untuk tidak menjalankan tradisi itu ketika ia menjadi senior. Aku tau dan sangat yakin itu. Dan membuatku sangat yakin bahwa hanya mereka yang tidak bermoral-lah yang menjalankan tradisi itu. Aku sangat yakin, bukan seperti itu pendidikan militer yang guru ajarkan di institusi tsb. Perjuangan2 telah ia lalui demi sebuah cita2. Aku tidak bisa membayangkan apalagi merasakan saat pertama ia melawan ombak. Berlayar pertama kali saat ia mengerjakan proyek laut (prola) dengan berbagai laporan "tulis tangan" yang tebalnya melebihi naskah ASKEB ku. Dulu aku mengerjakannya di meja atau ruangan yang enak. Tapi ia mengerjakannya di tengah2 gelombang di atas lautan yang seakan tak bertepi. Tapi alhamdulillah... Dia bersyukur bisa melaluinya. Masih adakah yang ingin berpendapat sekolah.pelayaran adalah sekolahnya para penggila pangkat? Semua tau. Bahwa setiap kesuksesan itu tak kan luput dari perjuangan. Aku bisa melihat hasil perjuangan itu dengan.memandang foto suamiku berseragam wisuda didampingi orang tuanya, 13 tahun silam. Walaupun aku belum ada disisinya, tapi aku bisa merasakan degup kegembiraan itu sekarang. Akhirnya sampailah ia pada cita2 menjadi seorang pelaut. Waktu berlalu sampai ia melangkah ke "dunia" berikutnya. Menyandang gelar perwira, ia tekadkan niat untuk mulai bekerja. Mencari nafkah untuk orang tua yang telah menggadaikan kebahagiaan demi cita2 anaknya. Ia sangat ingin mengembalikan "kebahagiaan2" yang tertunda gara2nya, meskipun tak seberapa. Niat yang begitu mulia. Dan niat mulia itu pun kembali harus di uji oleh-Nya... Sekitar tahun 2000-an. Pelayaran pertama suamiku. Line Surabaya-Belawan (Medan). Harus dilalui dengan pengalaman yang tak kan terlupakan. Kapalnya dibajak oleh sekelompok anggota GAM. Terjadi penyanderaan dan berujung tindak kekerasan. Pasukan bersenjata GAM itu merampas habis "harta" kapal dan menyandera sang kapten. Beruntung penyelamatan datang meski tak ada barang berharga yang tersisa sekalipun itu surat2 dan ijazah. Tak berarti apa. Yang paling berharga saat itu adalah nyawa. Syukur alhamdulillaaaah. Allah pun masih melindungi suamiku dan rekan2nya, meski menyisakan besarnya trauma. Suamiku pulang tanpa barang apapun yang dibawanya kecuali pakaian yang saat itu dikenakannya. Ia di "kembalikan" kepadakeluarganya oleh dinas perhubungan setempat. Syukur tiada tara ia ucapkan saat ia kembali bertemu keluarga dlm keadaan selamat. Pelayaran pertama yang menyisakan trauma... Tapi ia tak kan larut dalam trauma itu. Ia berfikir, semua itu adalah ujian. Kalau ia berhenti, maka sia2lah perjuangannya selama ini. Dan seiring berjalannya waktu, trauma itu berhasil ia taklukkan dg tekad yang bulat untuk meraih sukses dari perjuangan yang telah ia lalui. Sesekali trauma itu datang menggoda, ia tepis dengan membayangkan cita2nya. Aku tau, cita2nya hanya ingin menjadi imam yang bertanggung jawab bagi keluarganya. Bagi kami. Ia ingin menjadi pelaut yang hebat di mata anak istrinya. Di mata kami. Aku tau itu. Dia sudah menjadi imam yang hebat di mataku. Perjuangannya menjadi tulang punggung kami, lebih besar daripada perjuangannya menikmati "hidangan" senior2nya dulu pasti. Aku tau. Meskipun dia dididik sekeras besi, tapi ia kan selalu mengajar dengan hati pada anak2 kami. Biarlah jika hanya aku yang tau perjuanganmu ini, jangan berkecil hati menjalani profesimu ini. Doa dan smangat takkan berhenti untukmu, pelautku. Kesabaranku menunggu kepulanganmu adalah bukti kesetiaanku padamu. Dan perjuanganku menggapai surga-Nya. Aamiin. Dan masihkah ada yang ingin berpendapat pelaut itu profesi yang gila pangkat? Aku hanya akan tersenyum dan mendoakan yang telah berpendapat. (^v^)

Minggu, 13 April 2014

Rindu Seorang Pelaut

Setelah menempuh perjalanan berkilo-kilo meter yang memakan waktu setengah hari... Menembus hutan dengan menumpang truk angkutan kayu, sampailah pada sebuah perkampungan... Dan akhirnya suamiku DAPAT SIGNAAALLLL...!!! Alhamdulillaahirrobbil 'alamiin.... Kau kabulkan doaku Ya Rabb... Doa kami semua. Suamiku msh diberi selamat, sehat meski dlm keadaan yg begitu sulit. Kapal "Sombar" nya sedang berada di laut tengah hutan dibalik bukit yang amat tinggi. Kapalnya tidak bisa berlabuh jangkar karena kedalaman laut yang tinggi, dan tidak adanya tenaga darat untuk membantunya. Padahal kayu yang akan dimuat adalah jenis kayu tenggelam yang jumlahnya ±400 batang. Muat pun hanya mengandalkan cuaca. Kapal yang tak bisa sandar itu semoga saja bisa diam dalam hantaman gelombang. Berharap angin besar tak kan menghampirinya. Saat ini baru 200 an kayu yang berhasil di muat di kapalnya. Itupun per-kayu harus dipakaikan pelampung. Setiap harinya hanya 10 kayu yang berhasil di muat. Jadi harus berapa banyak hari lagi yang dihabiskan kru "Sombar" di pedalaman Halmahera itu? Kata suamiku, ia terpaksa "mencari" signal untuk melapor ke perusahaan bahwa bahan bakar tinggal seminggu lagi. Mustahil jika harus menunggu selesainya muat kayu tsb. Ohhhh.... Betapa susahnya pekerjaanmu Yah... Belum lagi, persediaan logistik yang semakin menipis. Dan harus menempuh perjalanan 1 hari jika ingin bertemu pasar. Karena suamiku tidak berani memancing (mitos kalau istri lg hamil tdk boleh mancing), dan jika ia sungkan ikut memakan hasil pancingan anak2 buahnya, ia setiap hari hanya makan nasi putih dan telur rebus. Katanya piringnya tak ada warna lain selain putih.... Geli, tapi miris juga mendengarnya... Pun dia katanya ingin sekali mendengar suara anaknya... Ingin bertanya padaku ttg perkembangan si kecil didalam perut... Ia rela menempuh perjalanan jauh itu demi mendapatkan sinyal. Sedang asyiknya kami bertukar cerita, melepas rindu, truk kayu pun membunyikan klakson memberikan tanda bahwa akan berangkat ke dermaga tengah hutan itu (lagi). Huh... Kata siapa jadi pelaut itu enak hanya karna memandang gajinya? Jangan jadikan semua itu menjadi kesombongan semata. Semua profesi pasti ada resikonya. Janganlah berbangga hati menjadi istri pelaut tanpa mengerti segala perjuangan suami di tengah laut sana. Berat sekali rasanya menutup telepon. Tapi segera ku tepis dengan menyemengatinya meski hanya dg kata2. Tak lupa ia minta doa, agar segera bisa menyelesaikan misi ini dan pulang tepat pada waktunya. Itu pasti sayang. Doa itu tak kan pernah lalai aku panjatkan disetiap sujudku. Selamat berjuang lagi sayang. Semoga Allah selalu menyertaimu, sampai tali jangkarmu terikat kuat di pintu dermaga. Sampai kau berdiri dg senyuman di ujung pintu rumah kita. Aamiin...