welcome olive ......

jadilah olive yang setia kepada popeye ...

Kamis, 07 Januari 2016

Perjuanganku Tanpamu...

"Pasien nomer 2 sudah hampir lengkap ya Mbak, selalu pantau”, teriak dokter obsgin setelah selesai memeriksaku. Aku tak berhenti merintih bahkan berteriak merasakan luar biasanya sakit di seluruh perutku. Airmata dan keringat bercampur menjadi satu. Entah seperti apa tangan Ibu yang sedari tadi ku genggam dan ku cubit sebagai pelampiasanku menahan sakitnya menghadapi persalinan. Berkali-kali aku memanggil perawat dan dokter meminta mereka mengakhiri penderitaanku. Tetapi mereka tetap saja memintaku untuk tenang. “Ini baru pembukaan 7 Bu, yang sabar ya… Atau barangkali pengen telpon suaminya, kali aja habis ditelpon langsung lahir ini anaknya”, kata perawat mencoba mengajakku bercanda. Tetapi yang ada malah aku yang semakin sakit mendengar candaanya. Mana mungkin aku bisa menghubunginya, dia kan sedang di tengah laut, kalau saja dia bisa dihubungi pasti sudah dari tadi aku menelponnya, kataku dalam hati. Air mata ini semakin mengalir dengan derasnya. Merasakan sakitnya jiwa dan raga. Sungguh, belum pernah aku merasa sebegitu tersiksanya seperti saat ini.

“Nduk, ada benernya kata perawat tadi, Ibu coba telpon suamimu ya?”, kata Ibu di tengah-tengah kesakitanku. “Nggak mungkin bisa Bu, dia lagi di tengah”, ucapku sambil terisak. “Nggak ada yang nggak mungkin”, sahut Ibu sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ku pandangi wajah Ibu yang sedang mencoba menghubungi suamiku. Berkali-kali dia mencoba dan mencoba. Tetapi hanya desahan nafas panjang Ibu saja yang menjadi jawaban. “Sudahlah Bu, Mas memang nggak bisa dihubungi”, lirihku. Lalu dengan wajah kecewa Ibu menutup ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam tas.

Sudah hampir satu jam berlalu setelah dokter memeriksaku. Sekarang rasanya sudah bertambah luar biasa. Aku berteriak sejadi-jadinya karena rasanya aku sudah tak kuat lagi. Semua perawat dan seorang dokter obsgin sedang sibuk menyiapkan peralatan di samping tempat tidurku. Aku rasa inilah waktunya. Rintihanku semakin keras. Begitu pula dengan kontraksi ini, semakin kuat dan sakit sekali rasanya. Kata dokter, tinggal satu lagi pembukaanku sudah lengkap. Diajarinya aku mempersiapkan fisik dan mental menghadapi persalinan yang sudah ada di depan mata. Aku hanya mengangguk-angguk saja.
Semua yang ada di ruangan ini sungguh sangat panik ku lihat. Mereka sepertinya sudah tak sabar menunggu saat. Apalagi aku, semua perasaan dalam dada bercampur menjadi satu, keluar bersama rintihan dan tangisan yang tiada henti. Di saat aku berada dalam kesakitan yang tiada tara itu, suara dering telepon Ibu berbunyi. Samar ku dengar Ibu menjawabnya dengan suara terbata-bata. “Istrimu mau melahirkan Nak, ini sudah mau pembukaan lengkap, doanya ya Nak… Iya… Iya… Mau ngomong dulu sama istrimu Nak?”, begitu percakapan Ibu ku dengar. “Suamimu Nduk…”, kata Ibu sambil berlinangan air mata menyerahkan ponselnya kepadaku. Aku segera menyambutnya, tak ku pedulikan lagi kontraksi yang menyerang semakin bertubi.

“Halo Mas…”, kataku di sela-sela isakan.
Sayang, yang kuat ya, aku bantu doa disini, udah jangan mikirin apa-apa, yang penting kumpulkan semua kekuatanmu untuk melahirkan anak kita. Kamu pasti kuat, kita hadapi ini sama-sama ya”, begitu kata suamiku, persis seperti dalam bayanganku tadi.
“Iya Mas…”, ucapku lirih.
“Yasudah, sekarang fokus ya Sayang, nanti kalo….”, brakkkk. Tuut—tut—tuut. Telepon terputus. Aku menghela nafas panjang sambil menahan segala kesakitan. Mungkin sudah tidak ada signal lagi di sana, begitu pikirku. Tetapi ada sebuah kekuatan yang menyertaiku saat ini. Tak ku rasakan lagi sakitnya kontraksi yang datang bertubi-tubi. Kata-kata suamiku baru saja terus terngiang-ngiang seakan membakar semangatku untuk bisa kuat dalam menghadapi ini  semua.

Sampai pada akhirnya, tepat tengah malam saat hari berganti, terdengar suara tangisan kecil nan nyaring dari seorang bayi mungil memecah ketegangan di ruangan ini. Aku telah berhasil melahirkannya di dunia ini. Ragaku rasanya sudah tak ada daya, mataku masih terbelalak dan mulutku masih menganga. Lalu aku tersadar setelah mendengar suara “Selamat ya Bu, anak Ibu telah lahir dengan selamat dan sehat. Laki-laki Bu…”, kata perawat sambil menyerahkan manusia kecil nan merah itu untukku. Aku tak bisa berkata-kata. Lidahku kelu, meski dalam hati ucapan syukur itu seolah tak mau berhenti. Airmata ku tak terbendung lagi. Segala rasa sakit luar biasa yang hampir dua hari ini menyiksaku, terhapus sudah kala ku tatap matanya yang sayu. Ku peluk dan ku dekap erat dia di atas dadaku, ku ciumi dia berkali-kali dengan bibirku. Ku sentuh jemari mungilnya dan rasanya sungguh sangat luar biasa bahagianya. Sungguh aku tak sabar memberi kabar untuk Ayahnya di sana. Bahwa buah cinta kami berdua sudah ada dalam pelukan Ibunya.

(Ku dedikasikan untuk semua saudariku yg sedang hamil dan menanti kelahiran buah hati sendiri, tanpa suami di sisi. Tetap semangat ya Bunda.... Kau tidak sendiri. Semoga lancar, selamat sehat semuanya, aamiin...)