welcome olive ......

jadilah olive yang setia kepada popeye ...

Rabu, 16 Desember 2015

Catatan Dari Selat Masalembo

Aku sangat lelah. Ya, aku sangat lelah. Berhari-hari terapung di tengah laut, kapal pun entah melaju kemana tak tentu arah. Besarnya ombak sejak dua hari lalu membuat kapal ini terbawa arus, sulit dikendalikan. Kami hanya bisa berdoa. Berdoa dan bekerja. Iya, di tengah ombang-ambingnya ombak itu, di tengah derasnya arus itu, kami harus tetap bekerja. Ada saja mesin yang bermasalah setiap harinya.
.
Padahal, fisik kami serasa tak kuat menahan pusing dan mualnya melawan ombak. Sudah berhari-hari ini, perutku hanya terisi beberapa gigitan biskuit dan air putih saja. Itu pun kadang harus keluar lagi ketika mual sudah tak tertahankan. Entah sudah berapa tablet anti mabuk yang aku telan beberapa hari ini, tetapi rasanya tak berpengaruh sama sekali.
.
Hari ini harus bergulat bersama mesin-mesin itu lagi. Tak peduli seberapa pusing dan mual yang setiap saat menghampiri. Kapal ini membutuhkan beberapa spare-part baru sebenarnya, tapi apa daya, tak ada signal sedikitpun untuk menghubungi office agar mereka mengetahuinya. Kami hanya bisa pasrah, semoga bongkahan besi ini dapat bertahan setidaknya sampai ombak mereda dan kami mendapatkan signal.
.
Kami berada di Perairan Masalembo, entah dimana tepatnya, tetapi yang jelas ombak di sini mendebur sampai 5 meter tingginya. Masyaallah…
.
Saat ini aku hanya berharap agar air kembali tenang seperti kaca. Agar pelayaran kami tentu arahnya. Dan aku berharap signal segera menghampiri, agar aku bisa segera memberi laporan kepada orang-orang kantor tentang keadaan kapal kami. Ya, keadaan kapal kami, bukan keadaan kami. Kapal kami yang membutuhkan spare-part baru, kapal kami yang mengalami kendala ini itu. Tentang keadaan kami, yang hampir sekarat melawan ombak, biarlah menjadi rahasia kami, jangan sampai ada yang tahu, bahwa kami sempat sangat lemah, sempat merasa takut tak bisa kembali.
.
Dan untukmu yang di sana, yang mungkin sedang khawatir akan keadaan suamimu, tolong maafkan aku, bila nanti ada signal menghampiri dan aku tak sempat menghubungimu, itu karena aku lebih dulu menghubungi atasanku. Tak ada alasan lain, itu pun demi masa depan kita. Tolong mengertilah… Ini hanya sementara… Saat ini aku pun sedang merindukanmu, sangat merindukanmu.
.
“…semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya, menahan rasa ingin jumpa… Percayalah padaku aku pun rindu kamu, ku akan pulang melepas semua kerinduan yang terpendam…” (Dewa 19 : Kangen).
.
***
.

Terimakasih Charlie...

--- Port of Makassar, Agustus 2011---
.
Akhirnya ku lihat juga daratan. Setelah berhari-hari terombang-ambing di tengah lautan. Tepatnya pukul 23.30 WITA, kapal ini mulai berlabuh di dekat pelabuhan. Mengantre untuk bisa bersandar di dermaga. Ku lihat di kejauhan sana, gemerlap lampu kota yang seakan menyambutku dengan mesra. Makassar. Sebuah tujuan dengan seribu perjuangan. Dalam hati aku mengucap beribu syukur, akhirnya selamat juga kapal ini sampai di sini.
.
Aku sendirian di kamar. Suamiku sedang standby di control room menjalankan rutinitasnya jika kapal sudah mau bersandar. Sedikit banyak, sekarang aku mulai terbiasa dengan jadwalnya sehari-hari di kapal ini. Suamiku bertugas jaga di control room mulai pukul 04.00 sampai pukul 08.00, selanjutnya jika ada pekerjaan di kamar mesin atau hanya sekedar mengecek mesin, dia lanjut bekerja lagi pukul 09.00 sampai pukul12.00. Pukul 12.00 sampai pukul 16.00 kalau memang tidak ada trouble yang berati, dia bisa istirahat. Biasanya dia akan bermain game di kamar, bermain catur bersama temannya, atau tidur sambil menunggu giliran jaga. Tetapi selama aku disini, dia lebih banyak menemaniku. Menghabiskan waktu di kamar atau mengajakku berjalan-jalan keliling kapal sambil menjawab beribu pertanyaanku. Sore harinya dia harus bertugas jaga lagi mulai pukul 16.00 sampai pukul 20.00, dan selepas itu adalah waktu istirahatnya, jika mesin aman terkendali tentunya. Tetapi jika memang ada trouble besar di kapalnya, tidur satu menit pun dia tak merasakannya.
.
Oh… Alangkah panjangnya perjuangan dalam sebuah perjalanan ini. Aku melamun sejenak membayangkan hari-hari kemarin yang ku lalui di tengah lautan. Betapa kami di sini membutuhkan banyak sekali keberuntungan, campur tangan Tuhan. Terbayang kemarin kapal ini oleng seharian penuh. Membuat badanku menjadi tak karuan rasanya. Pusing sekali, mau berjalan pun rasanya tak bisa, dan tak jarang aku pun mual-mual sampai muntah. Aku bersyukur sekali kami masih di beri keselematan sampai daratan.

Lamunanku buyar ketika telepon kamar berdering. Tentu saja suamiku, “Hei, kita sudah sampai Makassar Yank… Tapi maaf ya, aku harus kerja sampai pagi nih, mau ganti spare part dulu mumpung ada teknisi di sini. Besok subuh aku balik ke kamar. Kita ada waktu satu atau dua jam-an nginjek tanah Makassar, habis subuh sampai sebelum jam tujuh. Oke?”. Aku hanya tersenyum sambil mengiyakan. Ah… Sudah sampai di sini dengan selamat pun aku sudah sangat senang Mas…
.
Charlie ini adalah kapal container, ada sekitar 400-an peti kemas yang di angkut oleh kapal ini. Setiap sampai Makassar, seluruh peti kemas dengan berbagai barang di dalamnya ini akan di bongkar di pelabuhan dan akan di muat lagi peti kemas kosong untuk di bawa ke Jakarta. Begitu seterusnya. Perlu diketahui bahwa proses bongkar muat 400 container ini hanya memakan waktu tak kurang dari dua jam. Sangat cepat sekali. Maka bisa aku simpulkan, kapal ini hanya sebentar saja bersandar di pelabuhan, sudah tentu tak banyak waktu untuk suamiku menginjak daratan, membeli keperluan pun kadang tak sempat, apalagi untuk berjalan-jalan. Satu lagi asumsi orang tentang profesi suamiku ini terpatahkan. Bahwa katanya jika pelaut ketika menginjak daratan, ia akan ‘se-liar’ macan, sama sekali tidak terbuktikan.
.
Sudah tujuh hari telah aku habiskan di sini. Banyak sekali pelajaran yang aku dapati. Semua yang aku lihat dan aku rasakan di sini, benar-benar sangat mengubah fikiranku tentang suamiku selama ini.
.
Beberapa saat yang lalu, aku banyak mengeluhkan tentang dia. Tentang sikapnya yang seolah dingin akan hubungan kami. Tentang dia yang kurang perhatian, tentang dia yang menomorsatukan pekerjaan, dan… ah… banyak sekali hal buruk yang aku pikirkan tentang dia di sini….
.
Beberapa hari yang lalu, ketika kapal mulai memasuki perairan Masalembo, tangki kapal ini bocor. Air tawar persediaan kapal ini tercampur dengan air laut. Padahal baru sampai setengah perjalanan menuju Makassar. Bisa dibayangkan, masak, minum, mandi memakai air payau. Seumur hidup baru ku rasakan makan masakan dengan air payau, benar-benar tidak enak di mulut dan di perut. Berbagai aktifitas dengan menggunakan air pun di batasi. Masyaallah… Dan suamiku masih saja sempat mengucap syukur. Katanya keadaan seperti ini sudah biasa. Masih ada yang lebih buruk katanya, dulu bukan lagi air payau, tapi air laut. Mandi dan sebagainya pun memakai air laut yang bisa membuat gatal seluruh tubuh.
.
Ah… Seperti inikah hidupmu di sini sayang? Sementara di rumah sana, aku menikmati berbagai fasilitas yang ada dan sering lupa mengucap syukur. Dan lagi, aku pun masih saja berfikir buruk tentangmu? Oh… Betapa bodohnya istrimu ini. Seorang istri pelaut yang tak mengerti apapun tentang hidup seorang pelaut di lautan sana.
.
Malam ini rasanya tak bisa tidur, aku hanya memeluk jaket suamiku dan berharap dia diberikan segala kemudahan dalam perkejaannya di bawah sana. Pagi nanti ketika ku injak daratan di kota Makassar, aku akan mengucap janji pada diriku sendiri. Untuk lebih berfikir positif tentang apa yang dia lakukan di sini. Untuk lebih menghargai apa yang dia berikan kepadaku, apapun itu. Dan yang jelas, untuk lebih bersyukur dengan segala yang telah Tuhan karuniakan kepadaku, kepada kami, kepada keluarga yang akan kami bina nanti.
.
Tujuh hari di sini, ku dapati seribu pelajaran yang sangat berarti. Terimakasih Tuhan, terimakasih Sayang, terimakasih Charlie.

.
Akhirnya ku lihat juga daratan. Setelah berhari-hari terombang-ambing di tengah lautan. Tepatnya pukul 23.30 WITA, kapal ini mulai berlabuh di dekat pelabuhan. Mengantre untuk bisa bersandar di dermaga. Ku lihat di kejauhan sana, gemerlap lampu kota yang seakan menyambutku dengan mesra. Makassar. Sebuah tujuan dengan seribu perjuangan. Dalam hati aku mengucap beribu syukur, akhirnya selamat juga kapal ini sampai di sini.
.
Aku sendirian di kamar. Suamiku sedang standby di control room menjalankan rutinitasnya jika kapal sudah mau bersandar. Sedikit banyak, sekarang aku mulai terbiasa dengan jadwalnya sehari-hari di kapal ini. Suamiku bertugas jaga di control room mulai pukul 04.00 sampai pukul 08.00, selanjutnya jika ada pekerjaan di kamar mesin atau hanya sekedar mengecek mesin, dia lanjut bekerja lagi pukul 09.00 sampai pukul12.00. Pukul 12.00 sampai pukul 16.00 kalau memang tidak ada trouble yang berati, dia bisa istirahat. Biasanya dia akan bermain game di kamar, bermain catur bersama temannya, atau tidur sambil menunggu giliran jaga. Tetapi selama aku disini, dia lebih banyak menemaniku. Menghabiskan waktu di kamar atau mengajakku berjalan-jalan keliling kapal sambil menjawab beribu pertanyaanku. Sore harinya dia harus bertugas jaga lagi mulai pukul 16.00 sampai pukul 20.00, dan selepas itu adalah waktu istirahatnya, jika mesin aman terkendali tentunya. Tetapi jika memang ada trouble besar di kapalnya, tidur satu menit pun dia tak merasakannya.
.
Oh… Alangkah panjangnya perjuangan dalam sebuah perjalanan ini. Aku melamun sejenak membayangkan hari-hari kemarin yang ku lalui di tengah lautan. Betapa kami di sini membutuhkan banyak sekali keberuntungan, campur tangan Tuhan. Terbayang kemarin kapal ini oleng seharian penuh. Membuat badanku menjadi tak karuan rasanya. Pusing sekali, mau berjalan pun rasanya tak bisa, dan tak jarang aku pun mual-mual sampai muntah. Aku bersyukur sekali kami masih di beri keselematan sampai daratan.

Lamunanku buyar ketika telepon kamar berdering. Tentu saja suamiku, “Hei, kita sudah sampai Makassar Yank… Tapi maaf ya, aku harus kerja sampai pagi nih, mau ganti spare part dulu mumpung ada teknisi di sini. Besok subuh aku balik ke kamar. Kita ada waktu satu atau dua jam-an nginjek tanah Makassar, habis subuh sampai sebelum jam tujuh. Oke?”. Aku hanya tersenyum sambil mengiyakan. Ah… Sudah sampai di sini dengan selamat pun aku sudah sangat senang Mas…
.
Charlie ini adalah kapal container, ada sekitar 400-an peti kemas yang di angkut oleh kapal ini. Setiap sampai Makassar, seluruh peti kemas dengan berbagai barang di dalamnya ini akan di bongkar di pelabuhan dan akan di muat lagi peti kemas kosong untuk di bawa ke Jakarta. Begitu seterusnya. Perlu diketahui bahwa proses bongkar muat 400 container ini hanya memakan waktu tak kurang dari dua jam. Sangat cepat sekali. Maka bisa aku simpulkan, kapal ini hanya sebentar saja bersandar di pelabuhan, sudah tentu tak banyak waktu untuk suamiku menginjak daratan, membeli keperluan pun kadang tak sempat, apalagi untuk berjalan-jalan. Satu lagi asumsi orang tentang profesi suamiku ini terpatahkan. Bahwa katanya jika pelaut ketika menginjak daratan, ia akan ‘se-liar’ macan, sama sekali tidak terbuktikan.
.
Sudah tujuh hari telah aku habiskan di sini. Banyak sekali pelajaran yang aku dapati. Semua yang aku lihat dan aku rasakan di sini, benar-benar sangat mengubah fikiranku tentang suamiku selama ini.
.
Beberapa saat yang lalu, aku banyak mengeluhkan tentang dia. Tentang sikapnya yang seolah dingin akan hubungan kami. Tentang dia yang kurang perhatian, tentang dia yang menomorsatukan pekerjaan, dan… ah… banyak sekali hal buruk yang aku pikirkan tentang dia di sini….
.
Beberapa hari yang lalu, ketika kapal mulai memasuki perairan Masalembo, tangki kapal ini bocor. Air tawar persediaan kapal ini tercampur dengan air laut. Padahal baru sampai setengah perjalanan menuju Makassar. Bisa dibayangkan, masak, minum, mandi memakai air payau. Seumur hidup baru ku rasakan makan masakan dengan air payau, benar-benar tidak enak di mulut dan di perut. Berbagai aktifitas dengan menggunakan air pun di batasi. Masyaallah… Dan suamiku masih saja sempat mengucap syukur. Katanya keadaan seperti ini sudah biasa. Masih ada yang lebih buruk katanya, dulu bukan lagi air payau, tapi air laut. Mandi dan sebagainya pun memakai air laut yang bisa membuat gatal seluruh tubuh.
.
Ah… Seperti inikah hidupmu di sini sayang? Sementara di rumah sana, aku menikmati berbagai fasilitas yang ada dan sering lupa mengucap syukur. Dan lagi, aku pun masih saja berfikir buruk tentangmu? Oh… Betapa bodohnya istrimu ini. Seorang istri pelaut yang tak mengerti apapun tentang hidup seorang pelaut di lautan sana.
.
Malam ini rasanya tak bisa tidur, aku hanya memeluk jaket suamiku dan berharap dia diberikan segala kemudahan dalam perkejaannya di bawah sana. Pagi nanti ketika ku injak daratan di kota Makassar, aku akan mengucap janji pada diriku sendiri. Untuk lebih berfikir positif tentang apa yang dia lakukan di sini. Untuk lebih menghargai apa yang dia berikan kepadaku, apapun itu. Dan yang jelas, untuk lebih bersyukur dengan segala yang telah Tuhan karuniakan kepadaku, kepada kami, kepada keluarga yang akan kami bina nanti.
.
Tujuh hari di sini, ku dapati seribu pelajaran yang sangat berarti. Terimakasih Tuhan, terimakasih Sayang, terimakasih Charlie.

Akhirnya aku mengerti...

--- Laut Jawa, Agustus 2011---
.

Kapal ini sudah berlayar sejak kemarin pagi, entah sudah sampai mana. Yang bisa ku lihat dari balik jendela kamar ini hanyalah bentangan lautan yang seakan tiada bertepi. Ku dengar dari suamiku, selepas sholat subuh tadi, kami sedang mengarungi Laut Jawa, yang selama ini hanya bisa ku lihat dalam peta. Tepat tiga hari aku berada di kapal ini. Jangan membayangkan kami sedang asyik berbulan madu, karena suamiku, sejak kemarin sore berada di bawah sana, di kamar mesin, bekerja tanpa kenal lelah, tanpa kenal waktu. Dia kembali ke kamar hanya jika ingin menunaikan ibadah sholat. Selebihnya, dia mengecek keadaanku melalui telepon kapal. “Lagi ngapain Yank? Bosen ya? Maaf ya, masih banyak kerjaan. Nanti aku suruh koki kirim makanan ke kamar.” Biasanya itu yang dia katakan. Aku hanya meng-iya kan saja. Dalam hati aku semakin mengerti, bahwa pekerjaan suamiku memanglah sangat menguras waktu, tenaga dan fikiran. Dan tiba-tiba rasa bersalah itu menyeruak dalam dada… Tentang ego ku yang selama ini menuntut waktunya hanya untuk memperhatikanku… Ah… Bodoh sekali istrimu ini Mas…
.

Beberapa saat aku melamun membayangkan beratnya beban yang harus dirasakan suamiku. Seketika lamunanku buyar saat ku dengar ketukan pintu dan panggilan mesra suamiku di balik pintu. Ku buka dan ku sambut suamiku dengan senyuman. Ku lihat seluruh bajunya yang berlumuran oli dan wajahnya yang kusam belepotan penuh dengan noda-noda hitam. Di tengah-tengah matanya yang sayu itu, ku lihat senyuman yang tak mampu ku lupakan. Senyuman di tengah lelahnya raga, senyuman di antara letihnya jiwa, senyuman di atas beratnya beban atas masa depan.
.

Ah… Bahkan dalam keadaanmu yang seperti ini, kau selalu saja meyakinkan bahwa “Aku gak papa, gak capek kok, udah biasa…” dan sebagainya… Oh… Pandai sekali kau sembunyikan letih itu Sayang. Padahal aku sangat tahu, kau amat lelah, tetapi demi aku, kau sembunyikan segala rasa yang menyiksamu itu. Maafkan aku Suamiku… Selama ini ternyata aku tak begitu mengerti perjuanganmu di sini…
.
***
.
(Masih mengenang 4 tahun yang lalu, ketika mulai memahami betapa profesinya tak seperti yang ku pikirkan selama ini. Maafkan aku ya Yah  )
.
‪#‎catatanistriseorangpelaut‬